Sabtu, 19 Desember 2009

Solusi Kultur Atasi Konflik Tapal Batas

Seperti sudah kita maklumi bersama telah terjadi pengungsian warga Dusun III Desa Kayu Ara Batu Kecamatan Muara Belida ke Desa Sungai Menang yang diduga akibat diserang oleh warga Desa Pulau Kapal Kecamatan Inderalaya Selatan Ogan Ilir.
Konflik tersebut dipicu oleh masalah tapal batas yang tak kunjung selesai antara Kabupaten Muaraenim dengan Kabupaten Ogan Ilir. Informasinya di lokasi perbatasan (Desa Pulau Kapal) sekarang sudah dijadikan kebun sawit oleh warga desa Kayuara Batu. Belakangan warga Pulau Kapal mengklaim itu masuk desa mereka.

Sengketa tapal batas sebenarnya telah terjadi atau berawal sejak tahun 1983. Tepatnya setelah dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan No 142/KPTS/III/1983 tanggal 24 Maret 1983. Dengan terbitnya Surat Keputusan terebut pesirah yang mempunyai wilayah marga diberhentikan selaku kepala marga. Pesirah waktu itu mempunyai kewenangan terutama di dalam memberikan izin pembukaan hutan. Masyarakat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sampai sekarang baik secara yuridis, budaya, sosiologis dan antropologis masih merasa terikat satu sama lain dimana tanah merupakan unsur terbentuknya suatu masyarakat adat.

Istilah tanah marga di dalam Undang-undang No 5 Tahun 1960 khususnya di pasal 3 menyebutnya dengan istilah tanah ulayat. Pengakuan hak ulayat secara konstitusional dapat kita bacakan di dalam Pasal 18 B ayat 2 UUd 1945 berbunyi: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.

Sayangnya apa yang ada di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya terealisasi di dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Sebab baik pemerintah kabupaten maupun provinsi belum melakukan pendataan terhadap tanah-tanah marga di Sumatera Selatan, baik yang bermasalah ataupun tidak. Walaupun sebenarnya kewajiban mendata tanah-tanah marga terutama yang bermasalah telah dicanangkan oleh pemerintah pusat sejak tahun 1995 dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Agraria/Ketua Bappenas.

Sinyal tersebut didasarkan karena sering terjadinya konflik-konflik di masyarakat akibat masuknya investor secara besar-besaran dengan membuka perkebunan yang dilakukan. Khususnya pada masa Orde Baru.

Libatkan Tokoh Masyarakat

Solusi penyelesaian sengketa tapal batas antara Kabupaten Muaraenim dengan Kabupaten Ogan Ilir sebenarnya dapat diselesaikan secara kultural atau budaya. Karena awal persoalannya adalah bermula dari kedudukan wilayah marga akibat pemekaran wilayah administratif baik desa, kecamatan maupun kabupaten.

Dulunya wilayah marga berada di satu kabupaten, kecamatan. Sekarang bisa saja sudah masuk kabupaten, kecamatan lain. Karena ini menyangkut masalah hak masyarakat ataupun menyangkut hubungan emosional maka menurut penulis penyelesaiannya adalah dengan cara melibatkan tokoh-tokoh masyarakat adat masing-masing kabupaten duduk bersama bermusyawarah mencari penyelesaian dengan berpedoman pada bukti pendukung keberadaan marga berdasarkan baik bukti fisik maupun dokumen-dokumen lama.

Isu Nasional

Masalah ini tidak dapat diselesaikan dari sisi administratif saja apalagi dilakukan dengan kekerasan ataupun penangkapan. Sebagai informasi bahwa persoalan-persoalan masyarkat adat sudah menjadi isu nasional.

Artinya hampir di seluruh wilayah Indonesia sering terjadi benturan-benturan sosial baik antara sesama masyarakat maupun antara masyarakat dengan pemilik modal. Untuk itu Presiden Republik Indonesia pada tanggal 6 Agustus 2006 mencanangkan pembuatan Undang-undang perlindungan masyarakat adat sebagai realisasi pasal 18 B ayat 2 UUD 1945. Yang drafnya sekarang sedang disusun oleh tim sekretariat nasional perlindungan masyarakat hukum adat dimana penulis duduk di dalamnya.

Tidak ada komentar: