Konflik Ambalat, tampaknya mampu memecah perhatian media di Indonesia yang semula dominan memberitakan Pemilu Presiden 2009. Seperti diketahui, konflik Ambalat yang saat ini mengemuka, seakan mengulang kejadian empat tahun lalu.
Mengapa sengketa itu terjadi? Jika pertanyaan itu ditujukan kepada para ekonom, mungkin sebagian besar dari mereka akan menjawab bahwa kandungan minyak di blok itu menjadi penyebabnya. Di blok Ambalat, diperkirakan ada kandungan minyak bumi 700 juta sampai 1 miliar barel, serta gas bumi sekitar 40 triliun kaki kubik. Kekayaan alam itulah yang hendak direbut Malaysia dari Indonesia.
Namun jika pertanyaan itu ditujukan kepada para ahli geospasial dan hukum laut, jawabannya akan berbeda. Menurut mereka, konflik itu terjadi akibat belum disepakatinya garis maritim yang ditarik dari garis batas darat antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan. Sehingga, kedua negara merasa bahwa blok Ambalat adalah wilayahnya. Sampai sekarang garis batas maritim itu masih diperundingkan.
Berita tentang aksi ”kejar-kejaran” kapal-kapal perang kedua negara di Ambalat, menandakan bahwa perundingan itu sedang macet. Khawatirnya, yang mulanya kapal-kapal perang hanya saling ”kejaran-kejaran”, kemudian berkembang menjadi saling menembakkan peluru. Jika itu terjadi, konflik Ambalat akan menjelma menjadi perang Ambalat.
Meskipun penulis yakin, kecil kemungkinan bahwa hal itu terjadi. Terlalu besar dampak buruk yang harus ditanggung Indonesia dan Malaysia andai mereka memilih untuk berperang ketimbang jalur diplomasi. Dampak buruk akibat perang akan terasa di segala aspek kehidupan kedua negara, tidak terkecuali aspek ekonomi.
Malaysia tentu tidak akan ”mengorbankan” keunggulan ekonominya atas Indonesia yang telah dicapainya saat ini, demi mendapatkan wilayah Ambalat dengan cara berperang. Seperti diketahui, saat ini keadaannya berbanding terbalik dengan kondisi pada era 1970-an sampai 1980-an. Pada masa itu, Indonesia memiliki banyak kelebihan di bidang ekonomi. Namun saat ini perekonomian Indonesia sudah jauh tertinggal dari Malaysia. Paling tidak, hal itu terlihat dari besarnya pendapatan per kapita Malaysia yang sudah hampir empat kali lipat dari Indonesia. Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) 2008, besarnya gross domestic product (GDP) per kapita Malaysia adalah US$8,141. Sedangkan GDP per kapita Indonesia hanya US$2,246.
Banyak pihak menilai, keunggulan ekonomi Malaysia atas Indonesia menyebabkan kerja sama ekonomi di antara keduanya memberikan peluang yang lebih besar pada Malaysia. Dengan kata lain, jika sampai terjadi perang, Malaysia akan kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari kerja sama ekonominya dengan Indonesia.
Penilaian itu muncul berdasarkan perkembangan neraca perdagangan dan investasi antara kedua negara yang cenderung menguntungkan Malaysia. Keuntungan dari perdagangan dengan Indonesia, sudah mulai dirasakan Malaysia sejak 2007. Neraca perdagangan Indonesia-Malaysia terus mengalami defisit bagi Indonesia sejak 2007.
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan Indonesia-Malaysia 2007 defisit bagi Indonesia senilai US$1,3 miliar. Nilai itu turun sebesar 243,4% dibandingkan dengan 2006 yang surplus US$917,4 juta. Selanjutnya selama periode Januari-Juni 2008, neraca perdagangan Indonesia-Malaysia defisit bagi Indonesia senilai US$1,5 miliar, naik 138,9% dibandingkan periode yang sama 2007 yang senilai US$620,2 juta. Padahal tahun-tahun sebelum 2007, neraca perdagangan Indonesia-Malaysia selalu surplus bagi Indonesia.
Defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap Malaysia, menurut data BPS disebabkan meningkatnya impor minyak dan gas (migas) dari negeri jiran itu. Pada 2006m impor migas Indonesia dari Malaysia ”hanya” US$1,5 juta. Namun pada 2007, impor migas dari Malaysia meningkat hampir tiga kali lipat menjadi US$4,26 juta. Kondisi itu terus berlanjut, sehingga pada semester pertama 2008, impor migas dari Malaysia meningkat 68% menjadi US$2,9 juta dibanding periode yang sama pada 2007.
Tingkat investasi Malaysia di Indonesia juga terus meningkat, dan pada 2007 tercatat senilai US$217,3 juta. Banyak investor Malaysia yang melirik Indonesia karena dinilai memiliki pasar yang luas dan belum tergarap secara optimal. Seperti diketahui, saat ini banyak investor Malaysia yang sudah masuk di berbagai sektor industri Indonesia, seperti Bank Niaga, Bank Lippo, Bumiputra, XL hinga Astro.
Walaupun dalam perkembangannya hubungan kedua negara terlihat lebih menguntungkan Malaysia, bukan berarti Indonesia tidak memperoleh manfaat di bidang ekonomi. Jika sampai berperang dengan Malaysia, Indonesia juga akan menerima dampak buruk dalam bidang ekonomi khususnya ketenagakerjaan. Suka atau tidak suka, Malaysia adalah ”dewa penolong” bagi Indonesia dalam mengatasi salah satu masalah ekonomi terpenting yaitu pengangguran. Hal itu terlihat dari besarnya jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencari nafkah di Malaysia.
Menurut Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Malaysia Da’i Bachtiar, saat ini jumlah TKI di Malaysia sekitar 2 juta orang (Kontan, 24/11/2008). Memang, sebagian besar TKI di Malaysia bekerja sebagai tenaga kerja kasar, seperti buruh perkebunan sawit, buruh konstruksi, maupun pembantu rumah tangga. Namun tidak sedikit pula yang mendapatkan tempat yang lebih layak, misalnya di perusahaan perminyakan Petronas. Bisa dikatakan, saat ini Malaysia telah menampung 1,85 % dari total angkatan kerja Indonesia.
Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan perekonomian Indonesia, andai saja konflik Ambalat berujung perang, dan Malaysia memulangkan seluruh TKI. Berdasarkan hal itu, perang tentu bukan pilihan menguntungkan bagi Indonesia.
Kedua negara pasti juga menyadari bahwa perang tidak hanya berdampak buruk pada perekonomian mereka, tetapi juga pada seluruh aspek kehidupan lainnya. Sehingga pilihan terbaik bagi Indonesia dan Malaysia dalam menyelesaikan konflik Ambalat adalah jalur diplomasi. Sebuah pilihan yang lebih cerdas, bijaksana dan beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar