Sabtu, 19 Desember 2009

Konflik Libanon

Dalam bulan-bulan terakhir sekretaris jendral Liga Arab berulang kali berkunjung ke Libanon sebagai penengah. Mungkin Amr Moussa sendiri sudah lupa berapa kali ia berangkat ke Beirut. Upaya mediasinya yang tampak sia-sia selalu mengikuti skema yang sama. Awal kunjungan Amr Moussa selalu sarat harapan dan spekulasi mengenai kompromi yang mungkin dapat tercapai - tapi di akhir lawatannya ia selalu pulang dengan tangan kosong. Ia bagai personifikasi ketidak-berdayaan Liga Arab yang legendaris.

Kunjungan terakhirnya ke Libanon juga berakhir tanpa hasil. Walau pemerintah dan pihak oposisi pada dasarnya sudah menyepakati seorang calon presiden, namun Libanon sudah 15 kali gagal menyelenggarakan pemilu yang ditangguhkan sejak tiga bulan lalu.
Sebenarnya, semua pihak yang terlibat punya agenda yang lebih penting daripada pengangkatan orang nomer satu Libanon, yaitu perebutan kekuasaan. Oposisi yang didukung Suriah dan Iran menuntut hak veto dalam pemerintahan yang masih harus dibentuk. Sementara, kubu pemerintahan yang didukung Amerika Serikat, Arab Saudi dan Prancis menolak mentah-mentah desakan tersebut. Yang diperlukan di sini adalah penyelesaian mendasar konflik kekuatan di Libanon. Namun, solusi seperti ini sulit dicapai karena terbentur sistem politik Libanon.
Landasan sistem politik Libanon adalah gagasan yang luhur, yaitu pembagian kekuasaan secara adil antar kelompok agama di negara itu. Tapi ini memicu terbentuknya klan politik yang berujung pada penempatan kepentingan kelompok di atas kepentingan negara. Sikap saling curiga menyebabkan kelompok-kelompok politik Libanon mencari dukungan luar. Banyak warga Libanon mengeluhkan bahwa negaranya menjadi obyek permainan kepentingan luar negeri tersebut.

Mereka tampaknya lupa bahwa situasi politik saat ini muncul akibat kebijakan para politisi Libanon yang selalu mencari dukungan dari luar untuk memperkuat posisi mereka.

Orang yang menilik keadaan Libanon secara realistis akan melihat satu hal: Bila Libanon menjadi kaki tangan Suriah atau mendukung Iran dalam perang melawan Israel, maka negara itu hanya akan terjerumus tragedi serupa perang tahun 2006 lalu. Tapi Libanon juga tidak akan menemukan stabilitas bila mendekatkan diri pada politik Timur Tengah Amerika Serikat. Libanon harus menemukan jalannya sendiri dan langkah awal dari jalan tersebut adalah sikap netral dalam konflik regional dan sekularisasi sistem politiknya. Selain itu, penguasa Libanon harus menciptakan keadilan sosial bagi sebagian besar warga Syiah yang masih mengalami diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.

Harapan bahwa situasi ini terwujud sama sia-sianya dengan mengandalkan keberhasilan mediasi Liga Arab. Bahkan, sejumlah politisi Libanon kini seolah tidak tergesa-gesa lagi menuntaskan krisis politik di negaranya. Mereka menunggu dan mengandalkan taktik politik. Dan sikap ini sangat berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Tak satu pun dari sekitar 30 serangan bunuh diri yang terjadi dalam empat tahun terakhir berhasil diusut tuntas. Belakangan jalanan kota-kota Libanon makin sering dihantui aksi kekerasan. Dan situasi ini dapat sewaktu-waktu situasi ini dapat lepas kendali

Tidak ada komentar: